Jumat, 10 September 2010

Korban Kekejian Mudik Lebaran -_______-


Ketika Bulan Ramadhan mencapai puncaknya, tradisi yang berlangsung di Indonesia adalah mudik. Entah berasal dari mana, karena di Al-Qur’an pun tak ada anjuran untuk “diwajibkan kamu sekalian mudik ke kampung halamanmu”. Hahaha… Orang-orang yang sudah merasakan berlebaran di Tanah Suci pun akan “kapok” karena lebaran di Mekkah tidak seramai di Indonesia. Sepi.  Ya, karena ini Indonesia. Negara penuh budaya dan tradisi unik. Termasuk mudik ini.
Betapa tidak,  siapa yang rela terjebak macet sampai berjam-jam? Uang yang dikumpulkan setahun pun kerap habis untuk mempersiapkan Hari Raya Lebaran. Tak jarang akhirnya terjadi kecelakaan di jalur mudik yang padat merayap, atau karena lelah dan ngantuk, niat untuk temu kangen keluarga berakhir dengan tidak bertemu selamanya. Mudik ternyata besar sekali resikonya. Tapi semua luntur demi seuntai tali silaturahim. Bertemu sanak saudara, dari yang terdekat hingga yang hubungannya paling jauh sekali pun, ada yang memang belum pernah bertemu, padahal ternyata saudara. Indahnya…
Tapi itu dia, mudik memiliki kekejian terselubung, hehe… Kejam sekali yah aku bilang begitu? Iya memang indah, tapi dibalik keindahannya terselip suka duka yang penuh cerita. Ini terjadi di mudik 2 tahun terakhir. Seperti biasa, menjelang mudik semua orang pasti sibuk masing-masing dengan urusannya. Ayah dengan mobilnya, adik-adikku dengan bajunya dan hal-hal sepele lainnya, Ibu dengan masakannya, cuciannya, setrikaannya, dan semua pekerjaan-pekerjaan Si Bibi yang sudah mudik duluan, sibuk. Aku? Yah…anak perempuan tertua punya kewajiban untuk menjabat posisi Si Bibi yang sudah mudik duluan. Maka kesibukan yang dipikirkan ibu pun diwariskan padaku dan haruslah kukerjakan. Ikhlas… Ikhlas…haha…
Biasanya kita mudik malam hari, selain adem, resiko terjebak macet pun bisa di minimalisir. Mobil yang ada banyaknya truk atau bis malam, para penumpang di mobil pun akan terlelap karena sudah malam, tinggallah ayah dan Adit adikku bergantian mengemudikan mobil bergantian berdua. Ngebut, menembus jalur mudik yang siang tadi padat. Sampai di Cirebon pun yang biasanya bisa sampai 5 jam, 4 jam pun didapat.
Ya, itu biasanya. Di mudik 1430 H, kami coba-coba berangkat siang, ramai-ramai dengan rombongan uwakku dari Bekasi. Ba’da dhuhur kami bersiap-siap membawa segala perbekalan dan oleh-oleh yang berjubel sekali di dalam bagasi hingga sepertinya kalau aku jadi mobilnya, aku bakal mogok jalan. ^_^ v Untungnya mobilku baik hati. Oh… Dia mobil yang tangguh, aku suka dia, dengan setia menemani perjalanan kami kemana pun kami pergi, karena kami hanya memilikinya. The only one car we’ve…
Berangkatlah kami menuju Cirebon kampung halaman kami. Desa Wangkelang desa ayahku, dan Desa Panongan desa ibuku. Senang riang kami memulai keberangkatan kami. Sampai di Jatinagor, mulailah muncul percik-percik kemacetan. Ketika itu, sabar mulai ditinggikan, menunggu mobil melaju lagi dengan lancar. Dinginnya AC mobilku tak mempan melawan teriknya panas matahari. Kami tetap merasakan panasnya udara luar, aahhh…hauss mulai menyerang kami. Mobil hanya bias merayap, diam, merayap, diam lagi. Bosan aku melihat tingkahmu mobilku… Terlebih aku mulai muak melihat jejeran mobil di depan dan belakang. Tidur pun tak bisa, hanya bisa tertegun menunggu mobil melaju kembali.
Walau merayap, sedikit demi sedikit kami mulai bisa keluar dari antrian panjang kemacetan arus mudik. Tapi bukan hanya di Jatinangor saja, entah daerah mana itu, kembali macet juga. Dimana ada mudik, disana pasti macet. Yah… pasti macet. Semua kendaraan dari kota tumplek blek, tumpah ruah menuju kota kecil dimana mereka berasal. Menuju jalur yang sama. Jika biasanya menuju Cirebon dari Bandung itu 4-5 jam, maka kali ini kami menempuh perjalanan selama 12 jam!!! Oh tidaakk… Waktu selama itu bisa sampai ke Yogyakarta. Berangkat pukul 13.00, sampai pukul 01.00… Aku langsung limbung mencari kasur. Lelah sekali, padahal aku tidak mengemudikan mobil. Apalagi ayah dan adikku yang mengemudikan mobil, di tengah macet pula, mereka pasti lebih lelah daripada aku.
Itu 1430 H, sekarang di 1431 H kami mengalami hal serupa, bahkan mungkin lebih parah. Masih diawali dengan kesibukan-kesibukan pribadi, menggantikan tugas Si Bibi, sampai diomelin ini-itu karena hal-hal sepele. Melihat di berita jalur mudik amat sangat begitu padat, maka di putuskanlah untuk kembali mudik di malam hari. Pada H -2 lebaran.
Rencana awal, berangkat langsung setelah buka puasa. Hujan turun deras sekali, takut banjir lagi, maka Persiapan sana-sini, matikan lampu, matikan listrik, cuci piring, tutup saluran air, dan kunci sana-sini. Adzan isya pun berkumandang. Batal sudah sebelum isya sudah berangkat. Kami memutuskan untuk shalat isya terlebih dahulu. Akhirnya dengan segala kesibukan, pukul 20.00 kami berangkat menuju Cirebon. Di Jatinangor lancar, tidak tahun sebelumnya yang macetnya minta ampun. Laju mobil membuat kantuk menyerangku, akhirnya lelap membuatku tak sadarkan diri.
Aku terbangun karena mobil tak melaju lagi, ada apa gerangan?
“Bu, ini dimana? Cadas Pangeran bukan?” Aku bingung, terlebih mobil sudah mengular panjang sekali.
“Cadas Pangeran mah udah kelewat, ini di Sumedang”
Wah, Sumedang ternyata. Tepatnya di daerah Paseh, saat itu pukul 23.00. Mesin mobil masih menyala, selang beberapa waktu kemudian, rasanya tidaka ada tanda-tanda mobil bisa melaju kembali. Maka mesin mobil pun dimatikan. Mobil kami bergeming, macet total, tak ada satu mobil pun yang bisa sedikitnya melebarkan langkahnya.
Pukul 00.00 tiba, macet masih total. Bahkan aku sempat tertidur sebentar, bangun, dan akhirnya keluar dari mobil untuk meluruskan badan. Pegal sekali rasanya badanku. Pantatku ngilu karena terlalu lama duduk. Udara luar terhirup juga dengan seiring aku keluar dari mobil, segarnyaa… ternyata banyak juga orang yang keluar mobil. Karena memang saking lamanya mobil tak bisa jalan. Hingga pukul 02.00 dini hari mesin mobil tak hidup. Sedikit demi sedikit akhirnya bisa juga mobil melaju, hanya sedikit tapi. Masih merayap, diam, merayap, diam lagi.
Lelah kembali menyergapku. Aku terlelap dan ketika bangun, ternyata kami sudah ada di daerah Tomo. Kami berhenti untuk sahur. Tak kusangka kami akan sahur di jalan. Ah, rasanya sulit sekali untuk makan sahur, tapi semuanya pun memaksakan diri untuk makan. Tak ingin berlama-lama, kami meneruskan perjalanan, menembus gelapnya waktu sahur dan berhenti di Jati Wangi.
Ternyata jalan menuju Cirebon belum bisa mulus, masih harus bermacet-macet ria. Terjebak padatanya kendaraan, ada pasar kaget pula, bertambahlah tingkat kemacetan hari itu. Kembali merayap, diam, merayap, diam lagi. Terlebih cuaca panas dan teriknya matahari pagi Cirebon mulai menyebar. Beruntung kami bisa sampai dengan selamat. Alhamdulillah, kami sampai ke Wangkelang pukul 09.00!
13 jam total perjalanan kami. Padahal itu perjalanan malam. Baru kali itu perjalanan mudik malam kami dihantui dengan kata macet. Macet total. Tapi memang itulah yang berkesan. Dengan macet itu, ada yang bisa diceritakan, ada yang bisa dibagi dengan orang lain. Dengan macet pula, aku dapat inspirasi untuk posting kembali, hahaha… Memang macet adalah kekejian mudik yang terselubung. Yah, tapi sejauh ini, kami menikmati asam manisnya mudik. Kata orang sih, ini seninya mudik.
“Kalau mudik gak macet, ya gak rame… Hahaha…”
Akhirnya, inti dari mudik adalah kekuatan untuk menjalin tali silaturahim dengan keluarga dan kerabat. Saling bermaaf-maafan dan merayakan Hari Raya bersama keluarga. Begitu lega rasanya saat tiba di rumah dalam keadaan selamat, sehat wal afiat.
Seuntai tali silaturahim itu semoga tetap bisa terjalin erat sebagai penghubung untuk dapat saling memaafkan. Taqabalallahu minna wa minkum. Semoga semua kesabaran dan keihlasan yang sedikit demi sedikit terpatri di dalam hati dapat menjadi ladang amal yang bisa mengantarkan kita semua ke surga. Amiinn…


Gambar: www.deviantart.com 

2 komentar:

  1. waahhhh..rasanya jadi ga mau mudik kalo liat tulisan yang judulnya "korban kekejian mudik lebaran" ini....

    yaa,,itu lah keajaiban dari silaturrahmi,semuanya rela berkorban hanya untuk berkumpul bersama sanak keluarga..

    dibilang keji rasanya tak elok, tapi mudah"an itu hanya exagerating words.heheh..

    ini semua sudah jadi adat kita sebagai orang indonesia, untuk ber-riweuh ria di hari lebaran..hehe

    tapi kalo dipikir", kenapa semua orang ingin bersilaturrahmi saat berlebaran saja ya??apa karena di lebaran itu semua harus bermaav"an?. sepertinya bukan maksud dari lebaran itu sendiri untuk bermaav"an.
    coba semua orang mempunyai niat untuk bersilaturrahmi dengan keluarga setiap waktu, mungkin bisa mengurangi kemacetan di saat hari" menuju lebaran...hehhe


    tapi,inilah ini, yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita.kita lestarikan saja dan kurangi beberapa kekurangan dari mudik lebaran ini sendiri...

    selamat berlebaran...!!!


    oia,,harap diingat,,mugkin ada juga "kekejian arus balik lebaran"..heheheh..

    so,prepare ur self....n_n

    BalasHapus
  2. ahahaha...bisa aja..tp arus balik biasanya gak sekeji arus mudik wan...

    hehe..pengennya sih gitu yah,silaturahmi gak pas lebaran aja,tp org2 ernyata nyantenya pas lebaran doang...jd aja,lebaran itu emang paling pas buat pulang kampung,,hha...

    BalasHapus