Sabtu, 14 Agustus 2010

Cerita Merah Putih



Pagi ini orang-orang di rumahku baru sadar bahwa Sang Saka Merah Putih belum dipasang di singgasananya. Padahal tiang itu sudah ditanam sejak angka di bulan Agustus masih muda. terutama yang bersemangat adalah ibuku. Baru sadar pula tenyata tali tambang yang ada di tiang itu posisinya belum layak untuk dijadikan singgasana Sang Saka Merah Putih. Karena hanya memakai tambang polosan dan tidak ada pengait disana, maka jika tidak dibuatkan simpul merosotlah Sang Saka Merah Putih. Jangankan berkibar di ujung atas tiang, di setengah tiang pun tak nampak. Nantinya malah meringkuk di bawah. Percuma tambang dikerek, tak akan bendera naik ke atas.
Tambang pun akhirnya diputus, terbagi dua. Di salah satu tali dibuatkan simpul mati oleh ibuku. Untuk merapatkan kembali bekas potongan tadi, digunakanlah korek api. Aku bantu menyalakan korek. Tapi memang dasar angin sudah tak sabar ingin menggoda Sang Saka Merah Putih, berhembus terus udara yang bergerak hingga mati setitik api yang ada di korek. Seperempat korek habis, tapi tak juga memberikan hasil. Tali nya tak mau bersatu. Ami adikku terus saja berteriak menyemangati dengan suara cemprengnya.
“Ibu, teteh, cepetaan… Ami pengen hormat sambil nyanyi Indonesia Raya..!”
Huaahh…dasar anak kecil, bisanya membuat orang diburu-buru… tetap saja tali tambang seakan urung niat untuk di hinggapi badan bendera. Akhirnya kami memutuskan untuk pindah posisi ke balik pagar. Lebih baik, tapi tak berhasil juga.
“Ibu… Ami pengen makan…” Adikku nampaknya bosan hanya menjadi penonton. Aduhh…aku juga pengen makan ibuu… Ingin sekali aku ucapkan kalimat tersebut saat itu. Tapi tampaknya percuma, yang akan disuapi hanya adikku. Ya, bulan Agustus tahun ini bertepatan dengan Ramadhan.
Maka diserahkanlah tugas mulia menjadi comblang tali tambang itu pada ayahku. Masih aku yang menjadi asisten, kini aku yang memegangi tali. Satu korek, mati. Yang kedua, masih tertiup, mati. Korek ketiga, mati segan hidup tak mau, tapi ia memilih mati.
“Yah, coba pake bensin”
“Ngaco, kebakar semua atuh!”
“Bukan bahan bakar bensin, tapi korek bensin Ayah…”
“Oh… Iya ya, bentar…”
Kau mengerti kan benda apa yang aku maksud? Apa itu namanya, tapi beberapa orang hanya menyebutnya dengan bensin. Setidaknya api akan bertahan lebih lama jika menggunakan korek bensin, dan tali pun bersatu…
Tak lama, ayah datang dengan korek bensin di tangannya. Langsung saja api diarahkan pada tali yang kupegang. Lelehan tali tambang yang berwarna biru itu menjadi hitam. Kutiup sambil kutekan-tekan agar merapat. Yaa,,lebih baik dari yang sebelumnya. Tapi kami masih sangsi dengan yang kami lakukan, tali itu belum rapat benar. Berkali-kali kami paparkan dengan api, tapi sepertinya tali tambang makin renggang. Bingung. Apakah ada teknik tertentu untuk menyatukan tali tambang yang terpisah?
“Sini deh, mending diiket aja.” Uwak ku geregetan dengan tingkah kami yang hamper geje. Gak jelas.
“Bentar sih Wak… Ni udah mau nyatu qo…” Belaku.
“Mana? Ntar juga lepas lagi coba…”
Benar ucapannya, tali tambang yang sudah kami bakar tak mau rujuk, mereka pisah lagi. Direbutlah tali tambang dari genggamanku, di buatnya simpul mati. Tak perlu bakar, tak perlu tiup. Kencanglah ikatannya. Tali tambang rujuk dengan paksa. Walau jika diperhatika dengan seksama tidak indah, tapi Sang Saka Merah Putih dapat berkibar dengan gagah di ujung atas singgasananya. Berkilau cemerlang disambut sang mentari dan desau angin yang menggodanya.
“Hormaaat….Grak!”

Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku

Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya


Foto: www.deviantatr.com

Senin, 09 Agustus 2010

Hujan



Hujan…

Setiap rintiknya tertambat kenangan. Tangis, tawa, sedu, sedan. Bagiku pun tersimpan kenangan di sana, di tiap tetes dan riak banyu yang terurai di jalanan. Bahagia kurasa, karena berkah menghambur bumi. Hawa panas jadi turun, dingin menyelinap. Sebagian menunggu sebagian menggerutu.

Hujan…

Setiap kerilngnya tercium kenangan. Pahit, manis, suka, duka. Padaku terpatri satu kenangan tentang hujan, aku yakin tiap orang pun punya kenangan disana. Entah di tetes yang mana, tetes ke berapa. Kini, kenangan itu menyeruak memenuhi dimensi otakku.

Hujan…

Setiap jejak basahnya menyisakan kenangan. Tak ingin aku mengingatnya, atau sekedar teringatkan. Pahit kah? Tidak, yang ini aku suka, karena manis rasanya. Tapi, menyisakan duka yang membuat luka. Bukan maksudku menyalahkanmu hujan, aku hanya sedang kalut. Do’akan saja semoga waktu dapat menyembuhkan luka ini.


Kala hujan,tentangnya…

Foto: http//:www.deviantart,com